Indonesia merupakan sebuah negara yang kaya akan budaya, adat istiadat dan tradisinya. Terdapat salah satu tradisi uniik di Indonesia yang diadakan untuk merayakan musim tanam padi adalah pasola.
Tradisi Pasola berbentuk permainan yang mengedepankan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda. Bagi masyarakat Sumba, tradisi ini merupakan bagian dari upacara ritual Marapu, permohonan ampunan, dan rasa syukur atas kesejahteraan dan hasil panen yang melimpah.
Artikel ini akan membahas mengenai Pasola, tradisi unik di musim tanam padi.
Apa itu pasola?
Nama Pasola berasal dari dua kata yang merupakan bahasa daerah yakni ‘sola’ atau ‘hola’ yang berarti kayu lembing. Sebagai sebuah ritual, Pasola berasal dari ritual adat perang dimana dua kelompok saling berhadapan, saling kejar-kejaran, sambil melemparkan lembing yang terbuat dari kayu ke arah lawan.
Pasola merupakan salah satu bentuk ritual untuk menghormati Marapu, memohon ampunan, kesejahteraan, dan meminta hasil panen yang melimpah. Selain itu, Pasola juga merupakan simbol budaya laki-laki Sumba yang menjaga harga diri dan martabat. Dalam ritual Pasola, dua suku besar yang saling berhadapan akan dimediasi oleh seorang Rato Adat.
Karena ritual ini cukup berbahaya, para peserta Pasola akan maju dengan gagah berani meski nyawanya dipertaruhkan. Sekalipun terluka atau kehilangan nyawa, sudah menjadi aturan tidak tertulis bahwa dendam tidak boleh dikeluarkan dari arena, dan balas dendam boleh saja tetapi harus menunggu Pasola berikutnya.
Darah yang tertumpah saat ritual Pasola dianggap menandakan keberhasilan panen dan berkah melimpah dari Sang Pencipta. Masyarakat setempat mempercayai bahwa percikan darah peserta Pasola mempunyai kekuatan magis yang dapat menyuburkan dan memberi kehidupan.
Sejarah Pasola
Sejarah dari tradisi Pasola berkaitan dengan legenda cinta segitiga di masa lalu. Dikatakan bahwa hiduplah tiga bersaudara di desa Weiwuang yaitu Ngongo Tau Matutu, Yagi Waikareri, dan Ubu Dulla yang memutuskan untuk berlayar ke Negeri Muhu Karera untuk mencari ikan bagi istri mereka.
Namun setelah beberapa hari berlalu, ketiganya tak kunjung kembali ke Weiwuang dan hal ini membuat istri mereka serta warga sekitar merasa khawatir. Istri Ubu Dulla, Rabu Kabba, kerap pergi ke pantai dengan harapan suaminya kembali. Lalu suatu hari, Rabu Kabba menemukan sebuah perahu yang hendak berhenti di tepi pantai. Akan tetapi perahu terebut meilik pemuda asal kodi Yakni Teda Gaiparona bukan Ubu Dall.
Merasa tidak bisa diterima, Ubu Dulla berusaha mencari istrinya dan Teda Gaiparona dengan dukungan warga Weiwuang. Saat ditemukan, Rabu Kabba menolak kembali ke pelukan suami sebelumnya. Bukannya marah, Ubu Dulla justru membiarkan istrinya bersama pria lain. Namun ia mengajukan syarat agar Teda Gaiparona diberikan mahar pengganti seperti saat ia memberikan Rabu Kabba di hari pernikahannya.
Teda Gaiparona menyetujui syarat tersebut. Ubu Dulla juga diberi sebungkus cacing laut warna-warni yang melambangkan kemakmuran untuk dibawa pulang ke Weiwuang. Tak berhenti sampai disitu, keduanya pun sepakat akan selalu menggelar Pasola untuk mengenang besar hati Ubu Dulla yang mampu merelakan istrinya tinggal bersama pria lain. Sebab bila Ubu Dulla tidak bersedia, maka perkelahian dan pertumpahan darah bisa saja terjadi.
Waktu pelaksanaan
Tradisi Pasola diadakan setahun sekali pada awal musim tanam, biasanya pada bulan Februari hingga Maret. Penerapannya bergilir pada bulan Februari hingga Maret di beberapa kecamatan di Sumba Barat. Tanggal pastinya akan ditentukan oleh Ratos berdasarkan perhitungan bulan gelap dan terang, serta dengan melihat tanda-tanda alam.
Jika terjadi kesalahan dalam penentuan waktu Pasola, maka nyale yang menjadi indikator hasil panen tidak akan muncul. Hal ini juga dipercaya membawa sial dalam bertani pada tahun tersebut.