Pulau Nias tidak hanya diberkahi dengan alam dan berbagai destinasi wisata yang indah. Pulau yang terletak di Sumatera Utara ini juga memiliki tradisi unik yaitu melompati bebatuan yang cukup tinggi .
Salah satu tradisi masyarakat Nias Selatan yang paling terkenal adalah fahombo atau lompat batu. Lompat batu ini khusus dilakukan oleh masyarakat Teluk Dalam, tradisi lompat batu ini dilakukan oleh laki-laki. Ketinggian batu yang dilompati sekitar 2 meter dengan ketebalan 40 cm.
Berikut di bawah ini terdapat penjelasan mengenai Fahombo tradisi unik dari Nias Sumatera Selatan.
Apa itu Fahombo?
Fahombo merupakan tradisi lompat batu yang berasal dari Pulau Nias. Fahombo sendiri sudah dikenal sejak lama di Indonesia, bahkan tradisi ini sudah mendunia. Masyarakat Nias mengenalnya dengan sebutan tradisi Hombo Batu atau Fahombo yang hanya bisa dilakukan oleh anak laki-laki.
Anak laki-laki di Nias sudah berlatih sejak usia tujuh tahun dengan berlatih lompat tali sebagai pengganti formasi batuan. Latihan lompat tali disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak, dan di akhir latihan, anak akan melompati formasi batuan yang sebenarnya.
Tradisi lompat batu ini berasal dari Pulau Nias, khususnya dari Desa Bawomataluo, sejak berabad-abad yang lalu seiring dengan budaya megalitikum. Tradisi ini merupakan warisan budaya peperangan antar suku di Nias pada masa lalu, baik karena balas dendam, pembatasan lahan, maupun perbudakan.
Sejarah Tradisi Fahombo
Menurut sejarah, Fahombo pertama kali muncul karena seringnya terjadi perang antar suku di Tanah Nias. Saat itu, setiap desa memiliki bentengnya masing-masing. Untuk memenangkan perang antar suku, setiap pasukan harus mempunyai kemampuan melompati benteng.
Dan pada akhirnya mereka secara khusus mempunyai kemampuan untuk melakukan tumbukan batu yang berguna untuk latihan fisik khususnya dalam melompat.
Dahulu, desa-desa di pulau itu membentengi diri dengan batu dan bambu setinggi dua meter dan tebal sekitar 40 sentimeter. Penduduk desa yang sedang bersiap perang kemudian melakukan lompat batu. Cocok atau tidaknya seorang pria Nias menjadi prajurit perang ditentukan oleh pemimpin Pulau Nias dari kalangan bangsawan Balugu.
Kriteria prajurit perang pada masa lalu adalah memiliki fisik yang kuat, menguasai ilmu bela diri dan ilmu hitam, serta harus mampu melompati formasi batuan setinggi lebih dari 2 meter tanpa menyentuh permukaan sama sekali. Lompat batu merupakan ujian akhir yang kemudian memberikan kebanggaan bagi generasi muda dan keluarganya
Untungnya kini perang telah berakhir, namun kemampuan Fahombo sudah menjadi tradisi. Tradisi Fahombo berkembang menjadi sebuah ritual atau media bagi generasi muda untuk menunjukkan bahwa dirinya telah benar-benar dewasa. Tradisi Fahombo ini tidak bisa dilakukan oleh seluruh masyarakat Nias, melainkan hanya dilakukan oleh desa-desa tertentu saja.
Makna dan Simbolisme
Fahombo melambangkan peralihan dari masa remaja ke masa dewasa dan menandai peralihan dari ketergantungan menuju kemandirian. Lompat batu juga melambangkan penghormatan terhadap leluhur, keberanian menghadapi tantangan hidup, dan persatuan dalam menjaga keutuhan masyarakat.
Desa Bawomataluo dibangun berabad-abad yang lalu. Tradisi Lompat Batu biasanya dilakukan oleh para generasi muda dengan cara melompati tumpukan batu setinggi 2 hingga 2,5 meter, lebar sekitar 1 meter, dan panjang 60 cm, untuk menunjukkan bahwa mereka layak dianggap dewasa.
Mayarakat Nias percaya bahwa ketika seseorang berhasil melompati batu dengan sempurna, berarti ia telah diberkati oleh roh nenek moyang dan para pelompat batu terdahulu yang telah meninggal.
Oleh karena itu, sebelum melompati batu tersebut, seseorang harus meminta izin kepada roh nenek moyang atau pendahulu yang melompati batu tersebut. Tujuannya tentu saja agar tidak ada yang terluka saat melakukan Lompat Batu. Selain ditampilkan secara tradisional, tradisi Lompat Batu juga menjadi pertunjukan yang menarik khususnya bagi wisatawan yang datang ke sana.
Waktu Pelaksanaan
Ketika seseorang memutuskan untuk melakukan lompat batu, biasanya warga akan berkumpul di tempat pelaksanaannya. Peserta akan mengenakan pakaian adat yang khusus digunakan oleh para pejuang. Sambil berbaris, mereka semua menunggu giliran.
Tanpa banyak melangkah, para pemuda ini berlari kencang, menginjakkan kaki di atas alas batu kecil di bawahnya sebelum akhirnya melayang di udara, mengatasi batu besar setinggi 2 meter dan mendarat dengan selamat. Terdapat aturan bahwa bagian tubuh tidak boleh menyentuh batu, jika terjadi pelanggaran maka peserta dinyatakan gagal.
Setiap desa di Pulau Nias biasanya mempunyai lokasi masing-masing yang sudah digunakan secara turun-temurun untuk melaksanakan fahombo ini.