Setiap daerah di Indonesia mempunyai adat istiadatnya masing-masing, tak terkecuali Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Banyuwangi mempunyai sebuah ritual adat bernama Kebo-keboan. Dalam upacara ini akan ditampilkan kebo-keboan atau manusia yang berdandan seperti kerbau. Upacara Kebo-keboan merupakan wujud rasa syukur atas hasil panen yang diterima.
Berikut artikel ini akan membahasa mengenai keunikan budaya kebo-keboan asal Banyuwangi.
Sejarah Kebo-Keboan
Lahirnya tradisi Kebo-Keboan dikaitkan dengan mewabahnya penyakit mematikan di Desa Alasmalang, Banyuwangi. Dikatakan bahwa penyakit Epidemi ini tidak ada obatnya dan mengancam jiwa. Jika penyakit menyerang pada malam hari, kematian pasti akan datang pada pagi hari.
Seorang Kakek Karti dalam hikmah spiritualnya mendapat wahyu bahwa upacara adat membersihkan desa dengan berpakaian seperti kerbau dapat menangkal wabah penyakit. Pesan ini menjadi inti tradisi yang berkembang seiring berjalannya waktu.
Oleh karena itu pada abad ke 18 Masehi, saat Blambangan masih berdiri, untuk pertama kalinya diadakan upacara Kebo-Keboan. Tradisi ini merupakan upaya menjaga dan melestarikan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal.
Namun pada tahun 1960an, tradisi ini mengalami kemunduran dan hampir memudar dari perhatian masyarakat. Era reformasi membawa kembali tradisi yang dipelopori oleh Sahuni ini dengan Desa Alasmalang sebagai pusat kegiatannya. Tradisi ini juga mengakar kuat di Desa Aliyan.
Apa itu Kebo-boan?
Kebo-keboan adalah orang yang berdandan seperti kerbau. Mengenai hal tersebut, ada sebuah cerita dari zaman dahulu yang masih dipegang teguh oleh generasi sekarang di Desa Alasmalang.
Tradisi Kebo-Keboan merupakan upacara adat yang unik dan khas dari banyuwangi, jawa timur. Tradisi ini melibatkan transformasi manusia menjadi makhluk yang mempunyai peranan penting dalam budaya pertanian, yaitu kerbau.
Tradisi kebo-keboan diketahui sudah berlangsung sejak lama yaitu sejak abad ke-18 dan ritual ini cukup rutin dan dilakukan oleh Suku Osing setiap satu tahun sekali yang bertepatan dengan bulan Muharram atau Suro pada tanggal tersebut. Penanggalan Jawa, yaitu tepatnya pada tanggal 1 sampai dengan tanggal 10 Suro pada hari Minggu.
Dalam tradisi ini, kerbau bukan sekedar hewan ternak, namun menjadi simbol energi andalan para petani. Kebo-Keboan melibatkan ritual dan serangkaian acara yang sarat makna keagamaan dan sosial. Tradisi Kebo-Keboan sudah ada sejak ratusan tahun lalu, tepatnya pada abad ke-18.
Tradisi ini berkembang sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil panen yang melimpah. Upacara ini juga dianggap sebagai doa agar penanaman benih pada tahun depan juga menghasilkan panen yang melimpah.
Dalam kehidupan bertani, kerbau mempunyai peranan yang vital dalam membantu para petani dalam mengolah sawah. Kebo-Keboan menyadari pentingnya peran kerbau dalam budaya dan kehidupan masyarakat Banyuwangi.
Wujud rasa syukur atas hasil panen
Upacara ini bertujuan untuk mengusir kejahatan sekaligus mengungkapkan rasa syukur masyarakat atas rejeki dan hasil panen yang telah diperoleh. Prosesi diawali dengan selamatan dengan cara ater-ater nasi. Selanjutnya tanaman palawija ditanam di sepanjang jalan Desa Alasmalang dengan ditopang bambu agar tanaman dapat berdiri. Tak hanya itu, seluruh tanaman diletakkan di tengah jalan, dan setelah penanaman tanaman palawija, upacara bersih-bersih desa akan dilanjutkan di sepanjang jalan desa.
Pada umumnya upacara dilaksanakan pada pukul 06.00-08.00, dengan sesaji berupa berbagai makanan yang disajikan sepanjang jalan di atas tikar. Setelah dilaksanakan upacara bersih desa, akan dilanjutkan dengan ider bumi dimana kebo-keboan diberi mantra oleh para pawang.
Saat ritual Ider Bumi dilaksanakan, puluhan kebo-keboan ini mengelilingi empat penjuru mata angin desa Alasmalang. Tak hanya itu, mereka juga akan melakukan ritual seperti siklus bercocok tanam, mulai dari membajak sawah, mengairi sawah, hingga kerbau pun turut menemani para petani saat menabur benih padu.
Kerbau yang dimaksud dalam tradisi Kebo-keboan juga bukanlah hewan ternak, melainkan hewan warga desa yang berdandan seperti kerbau. Jenazah warga dipenuhi jelaga hingga tubuhnya hitam pekat seperti kerbau. Tak hanya itu, warga juga memakai aksesoris berbentuk tanduk di kepala dan gelang kerincingan di tangan dan kaki.
Kecoa ini berkubang, meronta di lumpur, dan berguling-guling di sepanjang jalan yang mereka lewati. Tak hanya itu, saat berjalan, perut kebo-keboan ini juga diikat seperti kerbau.