Aku terbangun di pagi yang sama, tanpa cahaya menyapa batinku. Hanya ada dingin dan hampa yang menempel di dinding hati. Ketika cahaya datang, sebenarnya ia hanya mengungkapkan segenap kegelapan yang tersimpan di dalam diriku. Tempat ini—dunia yang bersamaku dalam kehampaan—sebuah panggung tempat keluh kesah bersatu dalam derai tangis yang terabaikan. Dihantui oleh bayangan di masa lalu, aku terpaksa mengingatnya.
Dia, namanya Rindang, adalah nyanyianku. Dengan senyumnya yang lemah, dia membawa harapan di antara serpihan-serpihan keberadaanku yang rapuh. Kami berbagi tawa dan mimpi, terbuai dalam keindahan dunia yang lengkap. Namun, layaknya sehelai kertas yang tersimpul lusuh, harapan yang kupegang erat dipaksa untuk terlepas. Rindang memilihnya—seseorang yang tidak kukenal, seseorang yang menjadi pelangiku.
“Tiada yang lebih tragis daripada mencintai; tiada yang lebih merusak dari pada pengkhianatan.” —kalimat Nietzsche seolah bergetar dalam pikiranku. Pengkhianatan itu menghantamku bagaikan palu godam, membongkar struktur jiwaku hingga ke akar. Ia pergi, meninggalkanku terdampar. Ruang yang dulunya berdesir hangat kini dingin meresahkan, seperti malam yang tak berujung.
Perasaanku tak terlukiskan, digambarkan dalam gambaran hitam. Aku mengisahkan dalam sebuah puisi kelam yang berulang kali terucap di bibir: “Di dunia yang indah ini, mengapa aku menjadi gelap?” Pertanyaan itu mengalir di antara rasa kehilangan dan kekosongan yang menyelubungi. Apakah dunia ini senantiasa membahagiakan bagi mereka yang berani melangkah, atau sekadar menciptakan ilusi bagi para pejuang yang tak berdaya?
Akhirnya, hatiku terperosok jauh ke dalam jurang kenestapaan. Dalam keputusasaanku, kutuk dunia yang berputar di sekelilingku. Kepada siapa lagi harus kusalahkan, jika bukan kepada dunia yang tak mampu mengerti aku? Ini adalah sebuah balas dendam terhadap semua yang membangkang dan ingkar. Kesedihan ini bertutur bagaikan sungai yang tak pernah berhenti mengalir, meluluhkan dinding pupus dari harapanku.
“Segala sesuatu menjadi kabur dan tak tertangkap. Yang terlihat hanyalah bayangan dan ilusi.” Kalimat itu bergaung menyuruhku untuk melihat kembali ke dalam jurang.
Keheningan Itu Menjadi Sahabatku
Selama beberapa bulan setelah perpisahan, keheningan menjadi sahabatku. Orang-orang di sekitarku hanyalah suara hampa—mereka berbicara, tetapi mereka tidak mengerti. Mereka mengucapkan kata-kata penghiburan yang mengganggu, seolah menggoreskan garam pada lukaku yang paling dalam. “Lupakan saja dia. Ada banyak ikan di lautan.” Jujur saja, bagi orang yang seadanya tak memiliki ikan, laut pun tidak memberi berarti. Hatiku hanya bergetar dalam denyut tubuhku yang lumpuh. Dalam lorong-lorong itu, aku terjerembap, terperangkap dalam jalinan kenangan.
Sunny, sahabatku, sering kali mencoba mendekat, menawari ide bodoh seolah mendapatkan pencerahan. “Ayo, mari kita keluar, cari kebahagiaan!” tetapi bagi siapa pun yang terkurung dalam kegelapan, cahaya pun bagaikan siksaan.
Setiap detik berlalu, semesta ini hanya menjadi latar belakang bisu, tak ubahnya pemandangan bisu dalam film hitam-putih yang menguras emosi. Semuanya memudar; bahkan harapanku, tak nampak di depan mataku, bagai debu dalam angin, tak dapat diraih.
Kini, yang tersisa hanyalah ritme langkah kakiku mendayang angin yang berputar. “Kenapa harus bertahan hidup di dalam kemarahan yang menggigit batin?” Dalam keramaian yang ramai, aku merasa terasing. Apakah kau mendengar jeritan tanpa suara ini? Di sinilah aku, terpojok dalam pikiran dan kegilaan.
Jurang Kehampaan

Dalam kegelapan malam yang panjang, aku menatap ke dalam jurang, jurang yang sama yang membangkitkan rasa mauku—akan tetapi jurang itu kembali menuntutku. “Jurang kesepian,” pikirku, “selain lebih dalam engkau, tak ada lagi yang bisa kuperoleh dari dunia ini.” Apakah ini memang pilihan, atau sekadar takdir yang menindihku tanpa ampun?
Dalam serangkaian kehilangan yang melumpuhkan, aku mulai melihat sesuatu yang lebih berbahaya—segala keinginan untuk membalas dendam, atau mencari korban baru untuk menghapus rasa sakit yang bertubi-tubi. “Orang boleh berbuat zalim, tetapi mereka definisikan diriku sebagai makhluk yang tidak berdaya. Apa yang akan kupersembahkan kembali kepada dunia ini?” Gema suaraku retak dengan ketidakpastian.
Di ambang kebangkitan, kutemukan diriku terjejak pada jari hantu yang terarah keluar dari jurang. Di luar, kehidupan bergerak seolah-olah tanpa mengenal duka, seolah-olah tak ada yang pernah kehilangan. Malah, mereka yang tidak mengalami kesedihan justru menari dan tertawa di luar jendela hidupku. “Hah! Betapa pun sudah kudengar, dunia ini tidak akan kerugian, apalagi, hidup ini hanya ilusi belaka,” pikirku sinis.
Timbul hasrat untuk memaksa dunia merasakanku. Dalam jiwaku, tinggallah gambaran kosong yang menunggu untuk diisi—namun dengan darah dan penyesalan. Kenyataan itu meresap kedalam jiwaku, berbicara bagaikan bisikan setan.
Menyaksikan Kegelapan
Semakin lama aku menatap jurang, semakin aku menyadari bagaimana kegelapan menyerapku bagaikan sebuah pusaran, menghempaskanku ke dalam dunia yang belum pernah ada. Rindang yang pergi, kini menjadi ironi; kenangan itu menggerogoti jiwaku lebih dalam ketimbang atapnya yang tak berujung. Saat keheningan itu semakin menggelapkan karenanya, aku berdiri di tepi jurang, memaku diri untuk pelan menjadi kosong.
Di sudut pandangku, ada ratusan bayangan yang terpenggal. Dengan setiap hari berlalu, kuabaikan kehadiran mereka. Bagaimana pun seisi dunia terus berdetak, sementara kita sibuk mencari pembenaran. “Kau salah jika berpikir bahwa yang abadi akan melanjutkan hidup. Dalam keabadian, ada kekosongan yang menunggu untuk muncul kembali.” Kalimat itu membuncah di fikiranku.
Apakah itu sebabnya mengapa jiwaku merana? Harapan tetap menjadi jari-jari yang mencengkeram, dan dalam upaya menyelam lebih dalam, aku melupakan seputar rengkuh yang seharusnya kutemui. Apa ada kekosongan nyata dalam perjalanan ini? Kenapa keinginan untuk hidup bertahan meski harapan sudah hilang? Sekiranya kegelapan ini telah menjadi sahabat terdekatku, akankah aku terperangkap selamanya?
Ular
Saat aku terancam tenggelam, pikiran liar kembali menjelma. Setelah semua yang kudalami, hidupku bukan sekadar untuk dikenang; ini adalah investasi waktu dan ruang. “Sekali lagi, aku harus mengorbankan seseorang,” batinku dengan dingin, terperangkap dalam pusaran yang merajai karier sunyi. “Mereka yang tersisa, akan kujadikan alat.”
Dalam kegelapan malam, kujadikan diriku terbatasi untuk sebuah motivasi yang absurd: balas dendam. Jiwaku telah tertawan, dan aku berniat mengguncang dunia yang indah ini. Apakah semua orang akan mengenal diriku sebagai sosok yang disudutkan, atau akankah mereka melihatku lebih dalam? “Setiap orang di sekelilingku adalah sekering kuasa. Mereka yang melangkah bersamaku, akankah mereka tetap selamat saat aku beranjak?”
Aku mulai menggerakkan angka di dalam hidupku, menyusun ulang cara pandang dunia yang sempurna. Dalam keterbatasan itu, aku merusak hidup orang-orang di sekitarku, menarik mereka ke dalam kegelapan tanpa ampun, seakan-akan aku merangkul mereka secara kolosal menuju kehampaan.
“Manusia lebih terpaksa berjuang, jika mereka tak memiliki tujuan. Dalam keputusasaan, biarkan mereka merasakan hasil dari setiap tindakan.” — Nietzsche kembali masuk ke dalam fikirku. Kalimatnya, bagai senjata ampuh.
Kini, aku terperosok menjadi satu entitas yang berkorban. Setiap tindakan yang kulakukan membawa dampak yang mengoyak dalam. Keberadaanku seperti bayangan, menelusuri jalan dari rekaman yang terlewatkan—masing-masing orang yang kutuju terperangkap dalam flytrap dari tindakan yang menyebalkan. Ya, ini adalah balas dendam, tetapi dalam prosesnya, setiap langkahku semakin mendorongku ke dalam jurang itu.
Jurang
Hari-hari berlalu; saat aku menatap ke dalam jurang, selalu ada bayangan seorang diri bernama Rindang menjelma. Senyumnya tetap terukir, meski tak lagi kudapat. Bagai cahaya redup di ujung terowongan, kehadirannya sekaligus menyalakan harapan dan menantang jiwa hampa yang ada. Kenapa aku harus menjaga dia dalam kenangan, meskis segala sesuatu telah berpaling? Kenyataan bahwa segalanya tampak kosong menjadikanku seperti jiwa yang terperangkap.
Dengan langkah-langkah ragu, aku mendekati tepi. “Dunia ini tidak peduli, dan aku tak tahu lagi bagaimana bertahan hidup. Jika begini terus, akan kah aku tersesat selamanya?” Kutak Ukir kenangan pahit sambil menyelam dalam keraguan waktu.
Setiap sudut pandangku melambung, semua tampak membosankan. Keberadaanku bagaikan pelanggar yang terasing. Dalam kegelisahan, diriku berjuang mati-matian; rasanya hampir putus asa untuk mencari makna di tengah jurang hitam yang membentang. Dan akhirnya, aku melangkah ke tepi, berani melihat lompatan yang terancam. Keputusan pun tak terhindar: mati dalam kekosongan atau melompat ke dalamnya.
Aku binasa di daratan dunia yang berisi jiwa yang ragu. Mataku terpejam, tetapi jiwaku berteriak. Hanya dalam keputusasaan itu aku menjeritkan kemarahan kepada dunia, “Tuhan, jika kau mendengar, ketahuilah—dunia ini bukan milikku. Ia telah merenggut segala sesuatu yang seharusnya menjadi milikku.”
Jurang yang Tak Berujung
Menatap ke dalam jurang sementaraku, kuundang kekosongan yang selama ini membebani hidupku. Jurang itu menampakkan diri sejauh pandangku, tidak ada jalan yang jelas. Dan semua usaha yang kutujukan hanya akan kembali merugikanku. “Akhir hidup ini akan dilemparkan ke dalam kehampaan.” Dalam waktu tertinggal, aku tersiksa dengan penantian yang tak berujung.
Kekosongan ini mematikan cahaya, dan kini aku seolah-olah beradu peran sebagai bayangan yang merana di kegelapan. “Jika dunia tidak mengerti aku, maka aku akan biarkan diriku hancur dalam kesenyapan.” Apakah ada harapan untuk keluar dari semua ini? Untuk semua jeritan batin yang terdengar? Namun pada akhirnya, kita semua akan dijatuhkan ke dalam kegelapan.
“Di momen kematian, di mana jiwa tak berdaya ini, akan kutempuh langkah terakhir. Bukan untuk menghilang, tetapi untuk memperlihatkan bahwa hidupku sia-sia, seperti sekuntum bunga yang layu di pinggir jalan.”
Jurang ini adalah dunia yang gelap. Aku terjatuh, dan dunia tak pernah peduli dan tak pernah berhenti berputar. Di sanalah akhir dari perjalanan ini—di dalam diri sendiri, tak ada lagi tafsir dan makna.